Sekum PUB Lebak Bahas Rencana Bendungan Pasirkopo

LEBAK, Transrakyat.com – Rencana pembangunan bendungan pasir Kopo yang akan di laksanakan oleh kementerian PUPR melalui balai besar BBWSC3 memiliki Landasan hukum Proyek Strategis Nasional yakni Peraturan Presiden No 3 Tahun 2016 yang direvisi menjadi Peraturan Presiden No 58 Tahun 2017 dan Peraturan Presiden No 58 Tahun 2018. Di Wilayah Kabupaten Lebak berada di Kecamatan Leuwidamar akan menggenangi 6 Desa 24 Kampung Terdiri dari 2.355 KK, Dengan Luas DAS 171,6 Km2, Luas Genangan pada MAN 9,38 Km2, Luas Genangan pada MAB 10,51 Km2. Area genangan pada aliran sungai melewati wilayah Desa Leuwidamar, Desa Margawangi, Desa Sangkanwangi, Desa Cisimeut, Desa Nayagati, Desa Cisimeut Raya. Serta desa perbatasan seperti Desa Kanekes ( Baduy ), Desa Bojongmenteng, Desa Cibungur, Desa Pasir Eurih ( muncang ).

Baca Juga : Staf Ahli MPR-RI Kunjungi Kantor SMSI

Apabila melihat dari dokumen Pemaparan studi kelayakan Pembangunan Bendungan Pasirkopo oleh PUPR pada 16 Juli 2020, semua tahapan perencanaan dan studi kelayakan sudah selesai dari tahun 1995 sampai dengan 2020, Hasil Kajian Sosial yang di lakukan oleh BBWSC3 Pada Persetujuan Larap Menyebutkan 82% Masyarakat Menyetujui direlokasi, sedangkan 16,42% Belum Bersedia Direlokasi. Sehingga dijadwalkan Kuartal pertama di tahun 2021 akan memasuki tahap pembebasan lahan.

Menurut Sekum Perkumpulan Urang Banten Kabupaten Lebak Ki Dede Sudiarto, MM, yang Juga Lulusan Geografi UPI Bandung, bahwa Aspek Fisik dan Sosial merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan dari sebuah pembangunan, karena dua aspek tersebut manjadi parameter keberhasilan pembangunan. Munculnya gerakan penolakan dari unsur masyarakat tidak heran, karena setiap pembangunan apapun, dimanapun yang berhubungan dengan pengalih fungsian lahan pemukiman akan menjadi sebuah persoalan, karena kehidupan masyarakat yang bertahun – tahun mendiaminya terasa tidak rela dengan kenangan dan kehidupan sehari harinya. Saya contoh kan : ditahun 1980 an, Kementrian Sosial membuat program pengadaan rumah dan lahan untuk masyarakat Baduy, yang akan pindah ke luar desa Kanekes, setiap keluarga diberikan 1 rumah dan lahan tanah 1 Ha, namun apa yang terjadi, mereka meninggalkannya untuk tetap hidup di Baduy, setelah selesai Berhuma di wilayah luar Baduy. Korban Sunami di Aceh pada 2004, juga direlokasi di wilayah yg lebih tinggi, namun tetap saja banyak yang kembali ke pantai. Hal ini menunjukan memindahkan manusia tidak seperti memindahkan barang, karena aspek sosial budaya melekat sejak mereka lahir, sehingga tidak bisa begitu saja dipindahkan.

Page: 1 2

redaksi:

View Comments (462)

This website uses cookies.