TransRakyat.com Serang – Hari Anak Nasional (HAN) yang jatuh tepat pada hari jum’at, 23 Juli 2021 menjadi momen yang diperingati dengan kondisi yang cukup prihatin, di sebagian besar daerah di Banten hari ini, kita terus mendengar banyak sekali ucapan belasungkawa atas wafatnya saudara-saudara kita yang menjadi korban Covid-19. Bahkan dalam rilis yang diberikan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Banten kepada Detikcom, total anak terpapar virus ini mencapai 2.972 anak di Banten.
Dalam catatan sepanjang masa pandemi dari awal 2020 hingga pertengahan 2021 tantangan dalam penuntasan kekerasan terhadap anak di Indonesia khususnya di Provinsi Banten masih belum juga berakhir. Mata rantai kekerasan terhadap anak, khususnya kekerasan seksual, kekerasan fisik dan kekerasan psikis merupakan sebuah fakta yang tidak bisa dipungkiri. Fenomena ini tentu berbanding terbalik dengan dunia anak yang sebenarnya yang penuh dengan kegembiraan dan keceriaan.
Fakta menunjukkan ada banyak peristiwa pelanggaran hak anak yang tidak bisa diterima akal sehat manusia. Di masa pandemi yang mengharuskan kita untuk tetap di rumah dan menjauhi kerumunan, Lembaga Perlindungan Anak Provinsi Banten masih banyak menerima laporan pelanggaran hak anak yang cukup banyak menyita tenaga, di sepanjang tahun 2020 dan sampai pertengahan tahun 2021, 74 persen pelanggaran hak anak didominasi kekerasan seksual baik dilakukan secara individual maupun berkelompok seperti apa yang kita kenal dengan serangan persetubuan bergerombol atau bersama (gengRAPE) yang dilakukan lebih dari seorang.
Sedangkan berdasarkan data kasus yang tercatat dan terpantau di Lembaga Perlindungan Anak Provinsi Banten sejak awal Januari hingga Juni tahun 2021 terdapat 16 kasus yang masih didominasi oleh kasus kekerasan seksual dengan rincian kasus kekerasan seksual sebanyak 75%, kekerasan fisik sebanyak 6% dan hak asuh sebanyak 19%.
Baca Juga : Menkumham Yasonna Laoly Berikan Remisi Kepada 1.020 Anak di Hari Nasional 2021
Ironisnya, kasus-kasus kekerasan terhadap anak terjadi justru di lingkungan terdekat anak, yakni di rumah dan dan lingkungan sosial anak. Sedangkan pelakunya adalah orang terdekat mulai dari ayah/ibu kandung, saudara, hingga teman bermain. Adapun tempat kejadian kekerasan terhadap anak yang mendominasi adalah di lingkungan sosial/masyarakat (perkampungan).
Peran teknologi dan media sosial hari ini sebagai salah satu pemicu munculnya kekerasan bahkan kejahatan seksual tidak lagi bisa kita nafikan. Pentingnya pemahaman penggunaan smartphone di masa pandemi perlu diperkuat dengan pemahaman tentang literasi digital, bukan saja bagi anak-anak tapi juga bagi orang tua, yang setiap hari selalu mendampingi anak dalam proses pembelajaran di rumah. Orang tua dan guru perlu untuk memperkenalkan positif dan negatifnya penggunaan smartphone saat ini, karena penggunaan smartphone di masa pandemi tidak bisa dipisahkan dengan proses kegiatan belajar mengajar bagi anak. Terdapat beberapa kasus yang terjadi berawal dari perkenalan korban dan pelaku di media sosial hingga berlanjut saling bertemu hingga terjadi kekerasan seksual bahkan ada beberapa pelaku yang mengaku melakukan kekerasan seksual setelah terpapar video porno yanng ada di smartphone-nya.