“Sebaliknya, DPD RI sebagai wakil dari daerah, wakil dari golongan-golongan, wakil dari entitas-entitas civil society yang non-partisan tidak memiliki ruang dalam menentukan wajah dan arah perjalanan bangsa ini,” ulasnya.
Faktanya, sejak amandemen saat itu hingga hari ini, entitas civil society non-partisan terpinggirkan. Semua simpul penentu perjalanan bangsa ini direduksi hanya di tangan partai politik tanpa second opinion dan tanpa reserve.
“Inilah yang kemudian menghasilkan pola the winner takes all. Partai-partai besar menjadi tirani mayoritas untuk mengendalikan semua keputusan melalui voting di parlemen,” urai LaNyalla.
Dikatakannya, produk hukum, apapun itu, termasuk konstitusi atau Undang-Undang, sesuai sifatnya, “Lex Semper Dabit Remedium”, artinya bahwa hukum harus selalu memberi obat. Bukan sebaliknya, memberi penyakit atau persoalan.
“Kita semua tahu, ada beberapa Undang-Undang yang lahir atas pesanan sponsor. Apakah sponsor pemberi pinjaman dari luar negeri atau sponsor oligarki yang menguasai kekayaan sumber daya alam,” ungkap LaNyalla.
Menurutnya, kita juga sering mendengar kritik keras tersebut dari para akademisi dan pengamat. Tetapi tetap saja Undang-Undang tersebut lahir, meskipun ada yang berujung dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, tetapi tidak sedikit yang terus berlaku.
Baca Juga : Warga Desa Cibadak Keluhkan adanya Proyek Normalisasi PJKA
Bahkan, ada juga yang dikatakan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai open legal policy. Artinya tetap sah, karena merupakan wewenang pembentuk Undang-Undang.
Singkatnya, hal ini menunjukkan kepada kita adanya kepentingan kelompok tertentu yang diakomodasi oleh pembentuk Undang-Undang. (Red)
Berita Terkait : https://www.beritajuang.com/22233/berikan-pelayanan-kepada-masyarakat-dan-pengguna-jalan-ditlantas-polda-banten-rutin-gatur-lantas-di-jalan/
[…] Baca Juga : LaNyalla Sebut 13 November 1998 Matinya Nilai Pancasila […]