JAKARTA – Kejaksaan Agung didesak untuk menangani laporan dugaan korupsi kredit macet yang diberikan Bank Mandiri kepada PT Titan Infra Energy atau Titan Group yang diduga senilai Rp 6 triliun.
Laporan dugaan korupsi yang dilayangkan Komite Anti Korupsi Indonesia (KAKI) beberapa waktu lalu ini ramai dibicarakan seusai Bank Mandiri ditinggalkan salah satu Direkturnya yakni Royke Tumilaar yang kini menjabat Direktur Utama Bank BNI.
Desakan itu diungkapkan Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi. “Kejaksaan harus tangani, ini kan dugaa korupsinya sangat jelas,” katanya di Jakarta, Senin (4/7).
Dia menjelaskan perkara ini bernilai sangat fantastis yang menimbulkan dugaan kerugian negara. Uchok kembali menegaskan bahwa perkara ini dugaan tindak pidana korupsi bukan tindak pidana umum.
“Ini nilainyaa raksasa juga besar sekali nilainya, ini kan kredit macet bukan penipuan jadi kejaksaan harus turun tangani ini. Jika bareskrim tangani penggelapannya atau pidana umum maka kejaksaan tangani korupsinya,” jelasnya.
Menurutnya, Kejaksaan saat ini tengah mendapat kepercayaan publik yang sangat luar biasa, jadi sudah sangat tepat jika perkara ini ditangani Kejaksaan.
“Apalagi belakangan ini kepercayaan publik kepada kejaksaan sangat bagus, banyak kasus besar diungkap kejaksaan . Ini (titan) besar kasusnya kejaksaan sangat mampu,” tegasnya.
“Saya mendesak kejaksaan segera bentuk tim khusus untuk mengungkap kasus dugaan korupsi mega kredit macet ini,” tutupnya.
SPDP
Beredar informasi ternyata kasus ini telah ditangai penyidik Bareskrim Polri namun tidak masuk dalam dugaan tindak pidana korupsi melainkan tindak pidana umum (penggelapan). Bahkan jajaran Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung telah menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dalam kasus ini sejak 15 Febuari 2022.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapus Penkum) Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana membenarkan hal tersebut yakni menerima SPDP dari penyidik Bareskrim Polri, namun sudah dikembalikan kembali ke penyidik Bareskrim Polri karena tidak ada tindaklanjut dari penyidik Bareskrim Polri.
“Iya sudah kita terima SPDP nya tanggal 15 Febuari lalu, kalau satu bulan setelah SPDP kita terima tidak ada tindaklanjut selanjutnya seperti pemberkasan, maka kita kembalikan SPDP nya,” katanya dikonfirmasi.
Hingga saat ini, kata Ketut, pihak Kejaksaan belum menerima kembali SPDP tersebut dari Bareskrim Polri. Artinya apa yang dilaporkan terkait hal ini (dugaan korupsi Titan Group) sudah ditangani Bareskrim Polri. “Tergantung penyidik sekarang soal ini, kami sifatnya hanya menunggu saja,” tegasnya.
Disinggung soal siapa tersangka atau terlapor dalam SPDP yang sempat diterima Kejaksaan Agung, Ketut menegaskan tidak tertera dalam SPDP nama terlapor dan tersangka. “Tidak ada soal itu,” tutupnya.
Sebelumnya, Pakar hukum pidana dari Universitas Al Azhar Indonesia, Supardji Ahmad mendesak Kejaksaan Agung untuk mengusut laporan terkait dugaan korupsi ini. “Seharusnya Kejaksaan Agung menindak lanjuti laporan tersebut,” katanya di Jakarta, Senin (27/6) lalu.
“Ini penting karena untuk merespon laporan adanya dugaan tipikor, Kejaksaan Agung juga harus terbuka. Jika ada laporan harus ditindaklanjuti jika memang laporan tersebut tidak memenuhi kualifikasi setelah di ferivikasi perlu disampaikan agar publik mengetahui mengingat publik sudah mengetahui adanya laporan,” jelasnya.
Koordinator Komite Anti Korupsi Indonesia (KAKI) melaporkan dugaan tindak pidana korupsi penyalahgunaan kredit PT Titan Infra Energy (Titan Group) di Bank Mandiri senilai 266 juta dolar AS atau Rp3,9 triliun.
Menurut KAKI, kredit tidak hanya di Bank Mandiri, namun juga diberikan oleh sindikasi bank sebagai kreditur lain. Yaitu Credite Suisse, CIMB Niaga dan Travigura senilai 133 juta dolar AS atau Rp1,9 triliun. Dengan demikian, total kucuran kredit yang dinikmati PT Titan dari Bank Mandri dan sindikasi bank sebesar Rp5,8 triliun.
Arifin mengungkapkan, kredit yang diberikan ini menjadi macet lantaran adanya dugaan tindak pidana penggelapan. Sehingga, perjanjian kredit yang seharusnya PT Titan Group menyetorkan 20% hasil penjualan batu bara sebagai pembayaran utang namun tidak disetorkan.
Diharapkan Kejaksaaan Agung untuk bisa melakukan penyelidikan terhadap kasus kredit macet PT Titan Infra Energi demi menyelamatkan uang negara yang ada di Bank Mandiri.
Komentar telah ditutup.