Masalah selanjutnya adalah sedikitnya jumlah pengawas ad hock di tingkat kecamatan, kelurahan / desa, dan di tempat pemungutan suara (TPS) sebagai contoh, pengawas kelurahan/desa (PKD) yang jumlahnya satu orang ia harus mengawasi satu kelurahan ada yang terdapat 30-40 TPS, dengan luas area pengawasan, belum ditambah dengan beban ketika terjadi irisan tahapan antara pemilu dan pilkada.
Terahir adalah budaya politik dan ekosistem politik yang tidak menentu, bagi penyelenggara pemilu khususnya bawaslu, kontestasi juga menjadi salah satu instrumen untuk mengukur kerawanan pemilu.
Indikatornya adalah sejauh mana kesadaran politik dan demokrasi yang tumbuh dalam suatu daerah, apakah sudah memenuhi kualitas dan menunjukan kedewasaan berpolitik atau cenderung masyarakat apatis terhadap pemilu itu sendiri. Hal ini menjadi tantangan tersendiri diluar pengawasan tahapan yang dilakukan bawaslu.
Baca Juga : Istimewa, Camel Petir : Akademi Beladiri Sejati Flight Peduli TNI AU
Sebagai contoh politik identitas yang secara massif diartikulasikan bagi kelompok tertentu dalam struktur politik akan menimbulkan kegaduhan sosial, yang akan mengganggu berjalannya tahapan. Apalagi disudutkan dengan identitas keagamaan, sehingga sensitifitas masyarakat akan semakin tinggi.
MASYARAKAT HARUS IKUT SERTA DALAM PENGAWASAN PEMILU SERENTAK 2024
Pelibatan masyarakat dalam pengawasan pemilu serentak tahun 2024 adalah strategi untuk menyelesaikan persoalan dan tantangan yang akan dihadapi nanti, meningkatkan pengawasan partisipatif adalah upaya serius dalam menjaga kualitas Demokrasi dan pemilu.
Komentar telah ditutup.