Bedah Buku Dari Sunda Menuju Banten Karya Moh Ali Fadillah, Ini Tanggapan Junaedi Ibnu Jarta

Bedah Buku Dari Sunda Menuju Banten Karya Moh Ali Fadillah, Ini Tanggapan Junaedi Ibnu Jarta

LEBAK, Transrakyat.com – Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Setia Budhi Rangkasbitung menggelar bedah buku Karya Moh Ali Fadillah yang berjudul Dari Sunda Menuju Banten. Hadir dalam acara tersebut Penulis sekaligus Arkeolog Moh Ali Fadillah, Plt Ketua DPRD Lebak Junaedi Ibnu Jarta, Para Dosen STKIP, dan Para Mahasiswa STKIP Setia Budhi Rangkasbitung. Acara dimulai pukul 10.00 WIB hingga selesai pada Sabtu (03/04/2021).

Dalam Sambutannya Junaedi Ibu Jarta berbicara tentang arkeologi indonesia tidak bisa mengesampingkan kaitannya dengan sejarah pendirian suatu negara. Seperti juga dibeberapa negara Eropa, Asia, dan Afrika, perkembangan disiplin yang lazim disebut ilmu purbakala, sejalan dengan kebangkitan suatu nation. Namun sebaliknnya, pada kondisi tertentu disiplin ini bisa saja memberi acuan bagi mekanisasi politik yang ekstrim.

Junaedi Ibnu Jarta menceritakan bahwa Buku yang memiliki 335 halaman ini membagi kedalam 3 bagian. Bagian pertama membahas tentang “Entitas dalam studi Arkeologi” dalam studi ini dijelaskan tentang ekspresi etnisitas dari budaya material, identitas etnik dalam bingkai nasional dan heterogenitas dan ruang geohistorik yang dimulai dari halaman 17 sampai 58.

Baca juga :

Sedangkan bagian kedua membahas tentang “Arkeologi Etnik dan Nasionalisme Budaya” dalam studi ini dijelaskan tentang: kontruksi kebudayaan dalam riset arkeologi, mengapa warisan budaya dilestarikan, prasasti cidahayang menuju mitigasi, cita lama disitus banten lama, kebudayaan bukankah urusan wajib dan politik kebudayaan, sekaranglah saatnya. Pembahasan tersebut terletak pada halaman 75 sampai halaman 158.

Junaedi Ibnu Jarta menjelaskan juga bahwa dalam buku tersebut setelah lebih dari separuh abad menjadi sejenis jargon politik, nasionalisme indonesia ”diperdebatkan kembali”. Sejauh pengetahuan saya, topik itu telah menjadi trend opini publik dalam berbagai temu wicara dan media massa menjelang dan sesudah krisis. Kritik sesungguhnya dilatari oleh kenyataan bahwa negara bangsa sedang berada dalam pressure ideologis, kesenjangan budaya yang mengancam integritas nasional dengan semakin maraknya isu kedaerahan bermuatan etnik dan isu kelompok bernuansa religius yang dianggap potensial mempelopori menaiknya ethnic –nationalism mengiringi politik desentralisasi terutama pasca orde baru (Era Repormasi).

“Di sinilah urgensinya melakukan kajian masalah etnik [atau sub etnik] dan identitas budaya dengan menggunakan konsep etnisitas. Dari pendekatan sosiologis, kita dapat mengenali gejala etnisitas melalui dua prespektif, yaitu primordial dan instrumental,” ucapnya.

Dalam perspektif primordial; kategori etnik didasarkan pada dasar-dasar budaya sama yang bersifat given seperti: mengacu pada asal-usul keturunan, tempat kelahiran, anutan agama, bahasa, adat istidatan dan praktek sosial lain. Sedangkan dari perspektif instrumental, konseptualisasi etnik dibentuk secara dinamis dan bersifat situasional dalam lingkup interaksinya dengan pembawa identitas budaya lain pada berbagai dimensi sosial dan institusional.

Baca juga :

Persoalannya, boleh jadi sebagai isu kedua, bagaimana konsep etnisitas diimplementasikan untuk membangun identitas etnik pada sebuah teritori yang sekarang dinamai Banten? Kecuali Betawi, keberadaan kultur Sunda dan Jawa di daerah Banten adalah fakta bahwa identitas budaya Banten dibentuk oleh dimensi primordial yang secara given bersumber pada dua great tradition. Pada dimensi ini, tidak perlu kita beranggapan bahwa Kultur Sunda dan Jawa Barat maupun di Jawa Tengah atau Jawa Timur, karena dalam kedua entitas itu terdapat akar budaya dan arah perkembangan sendiri dalam lintas waktu dan ruang. Maka, jika boleh dilandaikan, kita memang menemukan unsur budaya Sunda dan Jawa, namun yang lebih dirasakan adalah Banten’nya.

“Di sinilah urgensinya melakukan kajian masalah etnik [atau sub etnik] dan identitas budaya dengan menggunakan konsep etnisitas. Dari pendekatan sosiologis, kita dapat mengenali gejala etnisitas melalui dua prespektif, yaitu primordial dan instrumental,” jelasnya.

“Dari buku yang berjudul dari Sunda menuju Banten, setelah dibaca, maka kita akan menemukan suatu ilham yang menarik tentang pengetahuan baru yang di era milenial ini perlu kita sampaikan kepada generasi-generasi muda bahwasannya, suku sunda dalam hal ini Banten, erat kaitanya dengan islam dan nasionalisme. Dalam konteks budaya kaitan islam dan nasionalisme bagian daripada pengejawantahan heterogenisme indonesia yang dinamis dan unik yang diturunkan oleh nenek moyang kepada kita sebagai generasinya. Maka dari itu tugas kita menjaga warisan itu dan menjalankannya sebagai perilaku berbangsa dan ber-agama,” tutupnya.(Mir/Red)

admin:

View Comments (260)

This website uses cookies.