TransRakyat.com Jakarta – Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly menyebut pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden di Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) bukan untuk membatasi kritik. Melainkan, karena setiap orang memiliki hak hukum untuk melindungi harkat dan martabatnya. Menkumham Yasonna juga menyebut pasal ini sebagai penegas batas yang harus dijaga sebagai masyarakat Indonesia yang beradab.
Hal tersebut disampaikan Menkumham Yasonna menjawab pertanyaan anggota Komisi III DPR RI dalam rapat kerja yang berlangsung di Gedung DPR, Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Rabu, (9/6/2021).
“Kalau saya dihina orang, saya mempunyai hak secara hukum untuk harkat dan martabat. Bukan sebagai pejabat publik. Saya selalu mengatakan, kalau saya dikritik bahwa Menkumham tak becus, lapas, imigrasi, tidak masalah dengan saya. Tapi kalau sekali menyerang harkat dan martabat saya, misalnya saya dikatakan anak haram jadah, enggak bisa itu,” ujarnya.
“Kalau kebebasan yang sebebas-bebasnya itu bukan kebebasan, itu anarki. Saya kira kita tidak harus sampai ke sana. Saya kira kita harus ada batas-batas yang harus kita jaga sebagai masyarakat Indonesia yang beradab. Keadaban itu saya rasa harus menjadi level kita,” tambahnya lagi.
Baca Juga : Polres Metro Jakarta Barat Beberkan Secara Detail Pengungkapan Kebon Ganja Rumahan
Menteri Yasonna Laoly memastikan, bahwa pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden ini sama sekali tak berniat membatasi kritik. Toh, menurutnya, peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia membuka ruang atas kritik tersebut.
Page: 1 2
View Comments (0)