Penggugat ke Majelis di PN Samarinda : “Kalian Itu Pendusta dan Pengkianat”

SAMARINDA – “Kalian itu pendusta dan pengkianat pancasila & UUD 45,” demikian dilontarkan penggugat bernama Hanry Sulistio ke tiga majelis hakim di PN Samarinda, Rabu (19/10/2022).

Hal tersebut disampaikan Hanry saat sidang Perkara Nomor 118/Pdt.G/2022/PN Smr di Ruang Soebekti Pengadilan Negeri Samarinda.

Ketiga hakim yang menyidangkan perkara itu bernama Nyoto Hindaryanto sebagai ketua majelis dan dua anggota Rakhmad Dwi Nanto dan Agus Rahardjo.

Sesaat setelah sidang dibuka, Hanry langsung mempertanyakan 4 hal. Pertama, Hanry mempersoalkan surat yang dianggap oleh majelis dari tergugat satu.

“Kalau kalian (majelis) menerima itu surat. Kami menganggap kalian menggunakan alat bukti palsu, dan laksanakan pasal 1872 KUHPerdata” tegas Hanry didepan persidangan.

Hanry didampingi Abdul Rahim, seorang Advokat Muda sekaligus principal dalam perkara ini. Keduanya terlihat lantang berargumentasi. Sayangnya, pertanyaan demi pertanyaan dilontarkan, tak dijawab majelis hakim.

Kedua, Hanry menyoal perihal perilaku hakim Rakhmad yang mengetok palu sebelum pertanyaan penggugat dijawab bahkan tidak mau dijawab, Hanry meminta kejadian itu tak terulang lagi. Sebab, menurut Hanry itu bentuk dari kesewenangan-wenangan seorang hakim pengkhianat Pancasila dan UUD1945.

Ketiga, Hanry menegaskan bahwa orang yang ia gugat adalah penjahat bukan hakim, bukan pengadilan, bukan pula teknis yuridis.

“Yang saya gugat adalah perorangan atau oknum hakim dengan objek sengketa adalah perbuatan pemalsuan. Karena itu, semuanya terlepas dari soal pemeriksaan, mengadili dan putusan yang menjadi ranah teknis yuridis” tegas dia.

Oleh karena itu, tidak berlaku jika dikaitkan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung 09 tahun 1976. Jika itu dipaksakan, maka merupakan pemalsuan dan pihaknya menganggap hak perdatanya dirampok.

Keempat, Hanry mengingatkan agar jangan pernah melibatkan Ketua PN Samarinda bernama Darius Naftali dalam persidangan ini. Karena Hanry menilai dia juga bagian dari oknum di lembaga peradilan ini.

“Kami sudah bersurat dan memberi somasi ke dia (ketua PN Damarinda) Tapi dia tidak jawab. Artinya dia mengakui dirinya sebagai oknum. Kami punya hak ingkar, sekarang kembali ke kalian mentaati atau melanggar pasal 17 ayat 5 UU 48/2009 Kekuasaan Kehakiman,” tanya Hanry.

Selanjutnya, Rahim menambahkan bukan hanya perkara ini saja. Beberapa perkara sebelumnya juga telah diputus secara semena-mena.

“Ada satu poin yang saya mau tanyakan. Di dalam Republik ini panglima tertinggi itu hukum atau kalian (majelis)? Itu pertanyaan yang harus dijawab,” tegas Rahim.

Kedua, Rahim menerangkan dalam sejarah peradaban hukum, perbuatan pemalsuan itu tidak masuk dalam teknis yuridis. Tapi mengapa hal tersebut diterapkan. Itu harus dijelaskan.

“Jangan sampai kami semua dalam persidangan ini dibodohi. Itu harus kami ingatkan dan perlu dicacat. Sebab hari ini kami mencari keadilan di tempat mulia yaitu Pengadilan ini,” ungkap Rahim.

Namun, beragam pertanyaan tersebut tak dijawab majelis hakim. Ketua majelis Nyoto Hindaryanto justru mengarahkan bahwa agenda sidang kali ini adalah pembacaan gugatan, bukan acara tanya jawab.

“Sesuai agenda sidang ini adalah pembacaan gugatan. Apakah gugatan ini dianggap dibacakan atau mau dibacakan,” kata Nyoto. Begitu juga hakim Rakhmad Dwi Nanto dan Agus Rahardjo. Rakhmad bilang pihaknya sudah menjalankan tugas sudah sesuai kewenangan.

Tapi, Hanry sekali lagi menegaskan bahwa dirinya tidak melihat hakim saat ini, yang dia lihat adalah oknum hakim dan melanjutkan menyebut mereka sebagai pendusta, penipu, perampok asas perdatanya secara tegas dihadapan persidangan yang terbuka untuk umum, bahkan menantang ucapannya dipersoalkan saja kalau majelis tidak terima

“Ini justru sebuah pelanggaran oleh kalian-kalian itu. Tolong dijawab dulu. Kalian mau mentaati Pasal 17 Ayat 5 UU Kehakiman atau melanggar? Kalaian pendusta dan perampok, kriminal jika tidak menjawab, Tolong dijawab dulu,” tanya Hanry lagi.

Namun, lagi-lagi tak dijawab majelis. “Sudah. Mari kita lanjutkan dengan pembacaan gugatan,” timpal Nyoto lagi.

Hanry membantah. Dia bilang ini bukan soal membacakan atau dianggap dibacakan. Tapi, ada tahapan yang belum dipenuhi dalam persidangan. Jadi harusnya diselesaikan dahulu sebelum masuk ke tahapan ini.

“Jadi kita gak boleh loncat-loncat,” tegas Hanry.

Rahim menantang para majelis. “Jika kalian gentelmen jawab dulu pertanyaan kami dong,” kata Rahim.

Tapi tetap saja tidak dijawab majelis. Hingga, akhirnya majelis bermusyawarah menuda persidangan ini hingga pekan depan.

Ditemui usai persidangan, Hanry mengatakan, “Saya tidak bisa berbicara apa-apa lagi, kalian saksikan sendiri perilaku oknum-oknum hakim tersebut,” kata Hanry.

Hanry mengatakan, para hakim sedang mempraktekan modus mafia hukum. Hanry berharap Mahkamah Agung RI dan Lembaga Komisi Yudisial segera mengambil sikap atas persoalan tersebut.

Aris Sandra Setiawan, mahasiswa Fisip Untag Samarinda yang hadir dalam persidangan itu menilai jalannya sidang tidak 2 arah melainkan searah saja.

“Hakim mengadili persidangan terlihat tidak akomodir pertanyaan penggugat, sehingga terlihat hanya satu arah saja,” ungkap Aris.

Padahal, pihaknya menginginkan persidangan dua arah agar ada edukasi hukum yang bisa dipetik dari pengalaman itu.

“Ya kami anggap seperti persidangan sesat. Bagaimana kalau rakyat kecil menghadapi persoalan seperti begini,” tutup Aris. (Red)

jumri:

This website uses cookies.